Jual Beli Opium dan Kawanan Orang Teler di Cikini

Mengisap opium sampai teler di Cikini tanpa takut ditangkap aparat dan dipenjara bukan suatu kemustahilan di awal abad ke-19. Kala itu, petani, pejabat pribumi sampai pemerintah Belanda bebas mengonsumsi candu tersebut.
Di jalanan, di rumah, di balik bilik-bilik warga, asap candu mengepul keluar dari pipa penghisap dan tersapu oleh angin.
Kala itu, Cikini dijuluki "Kawasan Candu". Kereta api mondar-mandir di Cikini membawa opium, tanaman yang saat ini masuk golongan narkotika.
Jika pergi ke kawasan Cikini Kramat, tak jauh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), maka terlihat jembatan di sana. Jembatan berkarat dan usang. Melayang di atas sungai dan dikelilingi oleh pemukiman padat penduduk.
Di situlah salah satu jejak sejarah kejayaan opium di Indonesia bisa ditemukan. Meski terlihat sebagai jembatan, dulu tempat itu adalah adalah rel kereta api yang membawa opium untuk diedarkan ke seluruh nusantara hingga bisa diimpor ke mancanegara.
Opium awalnya diproduksi dalam skala kecil oleh pemerintahan Belanda pasca VOC bangkrut. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah Belanda terus-menerus meningkatkan produksi opium itu.
Awal abad ke-19, opium disebut-sebut lebih popular dibandingkan rempah-rempah. Permintaan dari penjuru dunia semakin tinggi. Inggris dan China bahkan sampai berperang, mengadu kekuatan untuk menjual candu tersebut.
Perang itu kemudian dikenal sebagai Perang Candu. Dari perang itu, opium menjadi tren sebagai usaha para penjajah, termasuk Belanda.
Arkeolog sekaligus budayawan Jakarta, Candrian Attahiyat, menyebut tren itu juga masuk ke Indonesia. Sekitar tahun 1820-an, pemerintah Belanda sampai membuat pabrik opium di kawasan Salemba, yang kini menjadi Kampus Universitas Indonesia.
Pabrik itu disebut-sebut sebagai pabrik terbesar di nusantara. Candrian bahkan memperkirakan, pabrik itu terbesar se-Asia Tenggara. Opium diproduksi secara massal dan diedarkan sampai ke manca negara.
Di dalam Pulau Jawa, opium itu diedarkan menggunakan kereta api. Lalu, untuk luar pulau Jawa dan mancanegara, pemerintah Belanda saat itu mengirimnya ke Pelabuhan Tanjung Priok lalu diteruskan peredaran itu lewat moda laut.
Hasil penjualan opium menjadi penyumbang kas terbesar pemerintah Belanda. Para petani diberdayakan untuk terus menanam tanaman yang mengandung zat narkotika itu karena dianggap lebih menguntungkan.
"Pada akhir pertengahan abad ke-19, penghasilan Belanda di Indonesia adalah opium. Bukan lagi rempah-rempah. Rempah-rempah sudah ketinggalan zaman," kata Candrian kepada CNNIndonesia.com saat diwawancara pada beberapa waktu yang lalu.
Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya 'Sejarah Indonesia Modern 1200-2008' menulis hampir 12 persen dari pendapatan pemerintah kolonial memang berasal dari hasil monopoli opium. Monopoli itu berlangsung sejak 1827 sampai 1833.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Jual Beli Opium dan Kawanan Orang Teler di Cikini BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Belum ada Komentar untuk "Jual Beli Opium dan Kawanan Orang Teler di Cikini"
Posting Komentar